Beting: Segala Ihwal Tempo(ralitas)

Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M. Phil dalam Ekskursi Tujuh Pulau di Selat Rupat, 4 Maret 2023. (F: dok.tim)

Oleh Yusmar Yusuf

Percumbuan kosmis, menjatuh berkah di dada bumi. Bono estuaria Kampar, lintang khatulistiwa, gerhana bulan dan matahari (di Bunsur), purnama di pucuk stupa Muaratakus, beting timbul di selat Rupat. Segala ihwal ini berjalan dalam rempak tempo(ralitas); alias mewaktu dalam gerak vulgar.

Garis equatorial melintangi Riau dalam rasa matirim jua benua. Maritim: Guntung Indragiri Hilir. Benua; Pangkalan Lesung Pelalawan dan Lipat Kain Kampar Kiri. Riau boleh menyedia tiga model tapak (site) ruang publik demi menyaksikan “drama kosmis”; perjalanan matahari mengikuti garis khatulistiwa. Seakan matahari menyatu ke ubun-ubun, merebah, walau dalam takjub jahar (ketiadaan bayang-bayang makhluk).

Kalbar hanya kota Pontianak. Sumatera Barat melintasi Bonjol. Tapak equatorial Guntung bisa hadir dalam gempita kesemestaan maritim. Menghadap laut dalam gaya taman teduh-teduh hutan tropis tepian pantai timur. Pangakalan Lesung di lintas timur (lintas utara-selatan) menuju Jawa. Lebuh raya terpadat kedua setelah Pantura. Wataknya; lidah penyambung utara-selatan Sumatera. Lipatkain, hadir dalam kesunyian hutan tropis digelung kemolekan sungai Kampar menawan. Ada tiga buah hati “titik lintas garis khatulistiwa” di tanah Riau. Hadirkan lah watak taman yang berbeda di antara tiga titik itu.

Lalu, beting mengitari pinggang Rupat utara dan selatan. Ada jenis beting dengan pasir isap mematikan di sekitar Pangkalan Nyirih (sisi tenggara), ada beting menawan dan menyembul ke permukaan dalam hitungan delapan jam sekitar selat Rupat menghadap kota Dumai. Ada bentukan beting akibat tumpuan transportasi massa arus sehingga membentuk pulau-pulau kecil, dengan tugas bak sabuk pengaman bagi “benua” Rupat dari tendangan golakan air Selat Melaka.

Sebut aja Beting Aceh; lebih masif himpunan pasir berbanding vegetasi yang tumbuh di pulau mungil dengan pola arus mengitar serba tak terduga. Beting Aceh, amat populer bagi pelancong lokal Riau. Sekitar pulau Mentele dan pulau Baru, banyak benjolan pasir menyembul dan tumbuh. Semua kisaran benjolan ini tak lepas dari lelaku percumbuan kosmis yang terjadi di langit sana. Dalam semangat rerangkai “jala sutera”, lelaku percumbuan ini menumbuh dan menerbitkan kembaran-kembaran samawi semacam copy-paste tampilan makhluk langit yang tak bisa ditype-Exxx (recycle bin) begitu saja. Bahwa bagi langit, bumi bukan tong sampah. Tapi adalah cermin semesta. Cermin ini tersambung dengan matriks ilahiah (divine matrix). Termasuk ketersambungannya dengan makhluk paling halus sekalipun: tungau.

Postur arsitektur ketersambungan ini telah dikayuh indah oleh sang Buddha dalam kelana spiritualnya, lalu dilagukan lewat denting simponi merdu fisika quantum. Bahwa Beting menyembul di selat Rupat adalah hukum sebab-akibat dari kerancakan tari-menari antar makhluk langit yang sedang menyerakkan kebahagian langit (persetubuhan/ intercouse) yang diproyeksi dalam pola prismatik cahaya ke permukaan cermin bernama bumi. Bertuahlah selat ini dalam imajinasi fisika quantum.

Maslahat apa yang boleh dipanen dari kenyataan ini? Secara taktis, tentu masuk dalam rumpun “water harvesting” (pemanenan air). Bahwa orang-orang yang hidup di sekeliling selat ini tidak saja hidup dari air, tetapi juga bertugas “menghidupi air”. Inilah makna sejati dari terma “water harvesting”. Di sini berlaku pola partisipatoris (semua elemen adalah anggota/ partisipan), bukan dalam set mental followers (pengikut). Tetapi dalam peran partisipan aktif dan konstruktif. Dan tiada yang duduk di atas singgasana dalam gaya bossy (dipertuan atau khalifah, raja dan tuan hamba). Pun, tiada hamba sahaya.

Beting sebagai putik dari percumbuan kosmis itu, hadir dalam sembulan malu-malu. Alias dia menampangkan wajahnya dalam langgam waktu yang disepakati si kembaran samawi di atas sana; mungkin 8 jam, 5 jam. Semua rentang waktu ini mendorong daya kreatif manusia yang menggelung kawasan ini untuk mengolahnya sebagai komoditas ilahiah yang berdampak bagi kebahagiaan bersama; edukasi fenomena selat kecil dalam kandungan perut selat inang (selat Melaka). Diseminasi pengetahuan mengenai air turun naik di permukaan dalam segala tampilannya; pasang-surut, pasang perbani, pasang keling dan dampak klimatologis ikutannya.

Kesementaraan (temporalitas) fenomena beting itu sejatinya mendesak kepada yang cerdas dan berfikir untuk menggerakkan lelaku “pemanenan air” dari segi-segi keilmuan dan eksotika ‘tanah pukau’ (wonderland). Kita tak merindukan orang-orang berduyun mendatangi beting ini dalam gaya mental “pasar kaget” dan tamasya orgen tunggal. Pulau beting ini akan jadi karung sampah dalam gaya lautan. Yang dirindukan hadir di beting-beting sembulan kembaran samawi ini adalah para penukil ilmu (peneliti dunia) yang boleh menilik kecerdikan terminal transit bagi jenis avian antar benua yang numpang hinggap dalam semangat temporalitas. Sembulan beting-beting seakan pulau bergerak ini juga, bisa dijadikan “healing centre”, pengembangan herbal kawasan selat,  yang dikemas dalam paket ultra-modern sebagai rerangkai outbond tamu hotel bintang di Dumai (semacam kegiatan distance room).

Mendekatkan fenomena beting pasir bergerak secara alami ini kepada generasi cerdas dan penyimpan resah dan kerisauan saintifik (paket jelajah maritim bagi siswa SMP dan SMA) dengan kemasan edukasi maritim dan oseanografi praktis tertuntun. Paket-paket “water harvesting” ini tentulah melabuhkan pangkalannya di kota Dumai.

Destinasi wisata model ini, masuk dalam wisata “momen”, perjalanan waktu (buka dan tutup berdasarkan kemauan alam). Sebagaimana ambangan purnama merekah di atas pucuk stupa Muara Takus sebagai momen penanda kesucian Buddha, juga bergayut pada “momen” dan “penanda”. Beting dengan segala perkakas misteri ini adalah wisata momen yang tempo(ralitas). Datangi dia dengan teks agung. Hindari mendatanginya dengan teks serba kerdil.