Tumpah ruah pada satu titik yang menekuk ke bawah. Inilah lembah Baka’a. Lembah ini hadir di persimpangan nan ramai dan rancak (carrefour). 

Segala makhluk pikuk bersua dalam satu konferensi agung; Hajj (berhaji). Bukan travelling bukan pula touring. Juga bukan pilgrime (ziarah).

Tabuh persuaan agung (konferensi segala makhluk) ini bermula dari larian bolak-balik seorang perempuan resah dan hentakan tumit suci Ismail.

Berhimpun pada titik lembah ini bukan hanya kaum ningrat, penguasa, kaum elit, orang kaya, tapi segala lapisan; miskin, kumal, oketai (makhluk jin, malaikat), biotik dan abiotik dengan peringkat perkakas status, hadir dalam rayap rindu mengusik misteri menggetarkan sekaligus mempesona.

Misteri ini (Rudolf Otto) disapa ranum; mysterium tremendum et fascinosum.

Manusia mendatangi lembah menjinjit visa. Malaikat, jin dan makhluk-makhluk nir-fisik hadir tanpa visa. Mereka bukan makhluk meruang dan mewaktu. Alias, datang dalam gaya tak menyesakkan dan menyampah (bukan produser dan tak meninggalkan sampah).

Visa? Termasuk visa Furoda yang kontroversial itu juga terkesan sampah. Ada yang lancung berangkat ada pula yang tertahan pada batas embakrasi yang tak jadi.

Sempena Idul Qurban (hari Raya Haji), elok kita melancong di balik tembok pemahaman batini haji. Mengenai Shalat di dalam Ka’bah: bagaimana? Inilah jenis shalat nawafil.

Arkian, ketika Rasulullah memasuki Ka’bah, beliau menunai shalat nafilah, dan beliau mendirikan shalat fardhu ketika berada di luar Baitullah.

Kelaziman (yang sama) ketika beliau berada di atas kenderaan menunai shalat nafilah, sejalan dengan gerak arah kenderaan yang ditungganginya. Ingat Firman Allah: “Maka ke mana saja kalian menghadap di situlah wujud wajah Allah”.

Jalan tasawuf Tajalliat: “Berpaling dari al Haqq berarti jatuh ke dalam ketiadaan: sebuah kejahatan murni. Sebaliknya, eksistensi adalah sebuah kebaikan murni”.

Al Haqq adalah eksistensi, sedangkan makhluk adalah ketiadaan (adam).

Ketika kau keluar dari Ka’bah, maka kiblat mu hanyalah apa yang kau hadapi itu, baik yang kau lihat maupun yang tak kau lihat.

Kamu tak akan mampu untuk menghadap ke Ka’bah dengan segala esensinya karena kebesarannya dan kekerdilan diri mu. Haji, adalah persoalan eksistensial(is).

Pun, shalat di dalamnya adalah seperti shalat di luarnya, tak ada beda. Engkau menghadap ke arahnya, sementara engkau berada di dalamnya.

Kayat, dua bilah sandal Musa: terbuat dari kulit keledai. Terhimpun tiga ihwal dalam amsal ini. Kulit, sisi “lahiriah” dari sesuatu (benda).

Maknanya, janganlah kita berhenti pada sisi lahiriah (penampakan atribut) serba superfisial, bayang-bayang pada segala hal.

Berikutnya, “kepandiran” (baladah) yang dihubungkan dengan keledai. Dan yang terakhir, dia terbuat dari bangkai yang tak disembelih dengan benar -tanpa kaidah- (muzakka).

Makna batini dari tiga simbol ini; “Kematian” setaraf dengan “kebodohan” (pandir, bebal, bingung). Sosok yang mati tidak akan pernah memahami apa yang dikatakannya sekaligus tak tau apa yang dikatakan kepadanya.

Sementara orang yang bermunajat, harus memahami apa-apa yang dikatakan dan yang dikatakan kepadanya.

Qalbu yang “bernyawa” (alias hidup) akan mampu memeta posisi kata dan menyelami makna dari setiap ayat dan perkatakan yang dilontar atau terlontar oleh lawan munajatnya.

Maka, khatam shalat, diakhiri dengan salam kepada segala yang hadir dengan status salam orang yang pernah mendatangi Rabb-nya, untuk kembali kepada kaumnya dengan membawa setandan cendera mata pemberian dari yang dianugerahkan al Haqq kepadanya.

Lalu, apa makna “dua bilah sandal” bagi penukil ilmu burhani (arif)? Al Mursalin berkata: “Shalat adalah cahaya”. 

Cahaya, petunjuk sekaligus penanda. Shalat itu sendiri secara etimologis berasal dari kata “musalli” yang berarti, “kuda yang berada di belakang dalam sebuah medan pacu”. Inilah wuslah atau ketersambungan yang berasal dari alam cahaya (nur).

Imajinasi spiritual yang mengiringinya: Cahaya pelepasan ‘dua sandal’ dan cahaya ‘pemakaian dua sandal’, bermuara pada proses menjadi (to becoming) seorang Muhammadi sekaligus Musawi (pengikut nabi Musa).

Menerima titah dari “Pohon Perbedaan”, lewat lisan “cahaya yang diiraskan serupa dengan pelita (misbah)”.

Maka, ia adalah “cahaya tampak” yang disuplai oleh “cahaya laten” yang terkandung di dalam minyak dari ”pohon zaitun penuh berkah” di garis keseimbangan yang terlepas dari pengaruh arah-arah (mata angin): Tak Barat, tak Timur…

Setara kalam Tuhan kepada Musa yanag berasal dari “sebatang pohon” (zaitun). Maka, ia adalah “cahaya di atas cahaya” (nur ala nur) atau ”cahaya dari cahaya” (nur min nur).

Huruf dan bunyi min (dari) diganti dengan ‘ala (di atas) tersebab adanya kesamaan konteks dalam pemahaman. “Cahaya pelita yang tampak wujudnya” lebih tinggi secara inderawi dari pada “cahaya minyak yang tersembunyi”, namun cahaya dari minyak itu menjadi pemasok untuk cahaya pelita (kandil).

Andai kayu pemasok api pelita tadi lembab, niscaya cahaya pelita itu tak bertahan (lama). Tamsil batini lain? Ya, dunia adalah jembatan kayu di atas sungai yang mengalir deras…

Segala makhluk berhimpun dalam konferensi teragung atas bumi (jembatan kayu) dalam sayatan dan bilahan merindu keterlepasan “dua bilah sandal Musa”, menangkup “cahaya” sebagai suluh dan petunjuk ala Abrahamaic-Muhammadi, demi menatap misteri menggetar sekaligus mempesona… Haji, puncak perhimpunan tak barat dan tak timur. Sebagai wuslah cahaya…