Adat: Antara Kampung dan Kota

Ilustasi: keralanostalgic
Kampung dan kota saling beterjangan. Saling jatuh menjatuh. Di atas teks dan program seakan menjalin persemendaan mesra. Dalam kenyataan, kampung menjadi arena eksploitasi kota.
Di kota berkumpul manusia yang berpelukan dengan kuasa. Di kota, manusia sudah biasa memikul cerita tentang sesuatu yang berpembawaan besar dan tinggi. Di kota ada universitas yang menjinjing ide-ide langit efifani, namun payah membumi. Di kota pula tempat berhimpun figur gagah, sekaligus cengeng.
Bagi orang kampung, kota seakan diisi oleh orang tahan banting. Kerasnya tantangan hidup, begitu ketat persaingan di tengah peluang yang amat kecil. Pun, dimensi ini pula yang mendesak celah kreatif bernama spekulasi.
Di kampung juga ada spekulasi, berkat ajaran alam. Begitu bijak petani di kampung, demi hidup dan kelangsungan generasi yang berkaitan dengan ketahanan pangan. Mereka layari melalui ‘akal sehat’ yang berulang-ulang, dibimbing sejumlah penanda alam.
Berladang; kapan menabur benih, bila menanam, perlakuan pada lubang tugal diisi beragam benih tanaman. Dan sampai hari ini orang di kampung-kampung tetap makan.
Spekulasi orang kota, lebih gila lagi. Juga mengikut akal sehat; cenderung ke bentuk ‘perjudian’ antara untung, rugi dan peluang. Ada peluang? tangkap dan dimangsa.
Jika nasib lagi tak berpihak pada model spekulasi positif, orang kota akan bermain pada medan lain. Medan itu bisa bernama eksploitasi kesedihan diri menjadi kesedihan kolektif.
Galau pribadi sang pemimpin, lalu dikembarkan menjadi galau kolektif. Eksploitasi ini, bisa dilangsungkan dalam sejumlah model. Model yang amat populer; apel besar, majelis juadah, majelis adat dan istiadat; merasa aman serasa dalam perut ibu.
Di dalam adat melembaga, orang kota menemukan dirinya yang tak berdaya. Pada adat yang kuat dan ‘bermahkota’, individu yang lemah, seakan bisa memperoleh daulat, walau kebenaran sejati, mestinya tetap dijunjung tinggi oleh pemangku yang bermartabat.
Saat ini, Anda boleh menyusun pertanyaan; Sudah bermartabatkah adat dalam lejang lari panjang peradaban Melayu? Adat bersemai dan bersemi di kampung-kampung. Ketika ditransmutasikan menjadi lembaga di kota, dia sudah dikonstruksi oleh sejumlah bias kota (urban biased).
Konstruksi masyarakat urban yang menempel pada kata ‘adat’ yang mestinya otonom dan bermarwah di depan segala hukum positif. Walau hukum adat telah mengalami pemansukhan di era modern.
Anak-anak kampung memanjat kota; menyembur pagi, siang dan malam. Mereka kaum lasak mencari dan bersemenda dengan sanding-sanding kebenaran jamak.
Aktivis pergerakan di kampus. Mereka menjinjit kesadaran dalam gaya tabrak dan menubruk. Bangsa yang kekar, bila dipilari sebuah ‘bangunan tengah’ piramidanya, diisi oleh anak-anak muda yang kekar, kuat, macho, berkemauan kuat dan deras desakannya untuk perubahan.
Mereka sejatinya berasal dari kampung-kampung yang mengantongi kesadaran prima (sekaligus primordial) tentang kebudayaan yang telus dan bening.
Di sini, kelembagaan adat yang sudah bias kota itu harus pula melakukan trans-mutasi manajemen krisis dalam suasana kekinian. Masalah yang dihadapi hari ini adalah masalah dalam produk kekinian.
Dulu, tiada pejabat publik dicecar dan dikejar-kejar kasus korupsi. Saat ini, dunia sudah berubah. Dunia terbuka, hukum positif tentang rasuah juga begitu progresif.
Mahasiswa di kampus-kampus berdepan dengan teks-teks progresif dan hidup (alias bernyawa), teks-teks demonstratif mengarah ke masa depan demokratisasi yang dijalankan sebuah negara berdaulat.
Berdepan dengan masalah kekinian, yang diusung oleh mahasiswa yang menabrak dan menubruk, tidak bisa diselesaikan dengan kaidah masa lalu; petuah dan petatah petitih, lalu mensakral-sakralkan kelembagaan adat yang dibuihkan oleh sebuah mesin birokrasi semu.
Adat bersemai dan ‘meng-ada’ di kampung, ketika dijelmakan menjadi lembaga modern di perkotaan, dia tak bisa lagi bertabiat merantai diri pada batang kayu masa lalu. Tidak bisa anti kritik, dan tidak berkata: “kami dilecehkan, menghina kelembagaan”.
Dia hadir di tengah publik luas kekinian. Dia harus hidup dan membesar dengan pupuk yang ada di sekitar publik pengguna itu sendiri. Bukan sebuah lembaga yang memencilkan diri di pucuk gunung, di belantara gelap, berteman dengan segala margasatwa.
Kita hidup saling bersiram dan saling menimba, memberi dan memperkaya. Ingat, kita hanya menjadi besar, ketika ada segi-segi positif dan cahaya yang saling bersilang-silang.
Sejatinya bersyukur atas kehadiran ‘gelombang’ penabrak dan penubruk itu. Sebab, mereka menjadi ‘mata fikir’ demi mempertajam ‘akal budi’ yang kita sanjung-sanjung dalam adat melembaga; tak kampung, tak kota.
Mereka masih diberi peran jadi pengingat, bahwa kita semua akan mengalami kesesatan dalam perjalanan panjang, mengalami keliru di persimpangan nan ramai.
Saling mengingat inilah yang telah ditunaikan oleh anak-anak kampung berimajinasi progresif. Di sini tiada yang perlu dipersalahkan. Salah kita semua.
Salah kebudayaan Melayu yang menjadi begitu permisif dan jinak, ketika ‘anak-anak terbaik’ Melayu “dinista” oleh hukum positif.
Maka, jangan pernah menjadi sosok nista di dalam sebuah lembaga kebudayaan yang nista. Kenistaan itu sekecil apapun, akan berdepan dengan hukum positif yang diusung sebagai ‘pengadil publik’ yang paling agung.
Maka enyahlah segala tabiat nista di masa lalu, apatah lagi kini, dalam ruang hidup yang serba terbuka. Ingat nilai kampung dan kota, saling menerjang!