Smart Cab: Menertawai Zaman

Ilustrasi: media.istockphoto.com
Taxi bergerak, tanya pun muncul. “Lewat mana Pak?”. Wah, tak ada peta (pemikiran) sopir? Sopir malah bertanya kepada penumpang yang sejatinya harus langsung memetik kenyamanan berkendara. Sopir di Indonesia berlagak innocent, tapi sok ramah. Itu dulu. Sopir jenis ini sudah senjakala. Tak laku lagi. Menyisa kenangan tentang “sesuatu”.
Kenapa kalimat tanya pendek itu meluncur dari sopir taxi? Taxi itu maknanya, gerak. Setiap gerak, mesti dipandu sebuah kecerdasan mengenai ruang dan waktu. Sebab gerak itu sendiri mengetam ruang dan memahat waktu.
Gerak modern dalam sebuah kota yang berdenyut, mestilah dihiasi oleh akal sehat dan serba karib teknologis. Jika cab atau taxi di sebuah kota, dilengkapi instrumen pandu GPS, GPRS, Google Map, bahwa pranala angkutan perkotaan telah masuk gaya milenium serba hijau.
Tak sekedar hemat energi, pun hemat atas perkakas kenderaan; kanvas rem, ban, bodi kenderaan juga suspensi. Datang tepat waktu, tak perlu menunggu di bawah panas terik dalam ketidak-pastian berjenang. Mengantar tanpa embel-embel tanya yang mengusik.
Mengantar dengan pasti, tanpa bayar tunai yang terkadang tiada uang kembalian dari sopir (chauffeur, Prancis). Tak sekedar menjemput dan mengantar tubuh manusia, pun bisa pula membawa paket pesanan berupa barang belanjaan dan segala rupa keperluan konsumen, termasuk obat-obatan. Lengkap teraan ongkos antar yang juga tak memerlukan uang pas dan atau tanpa kembalian uang receh. Dan inilah jenis konsumen cerdas, mengutamakan efisiensi; penghuni kota-kota modern.
Taxi itu bergerak, bisa perlahan sampai kecepatan tinggi (pedal happy). Dia harus menyuguhkan kenyamanan bagi konsumen dalam selonsong ruang hodologik.
Ini bukan semata etika jual-beli, tapi terselip di dalamnya, secara substansial: amanah. Sebuah saham yang harus direkayasa demi menggalakkan hidup modern, menuju suasana serba hemat energi, hemat waktu, hemat kata, tapi maksimal dalam layanan.
Ciri khas modernisme; hemat berkata dan berujar. Menghindari muslihat dalam tawanan kata-kata. Demi mengelak segala dimensi perilaku koruptif; termasuk korupsi kata-kata (tanpa uang kembalian).
Insan modern, merawat privacy, hak pribadi yang tak mudah diumbar jadi milik bersama. Ada sesuatu yang disimpan di dalam diri manusia modern yang berderap melintas jalanan kota raya, kota metropolitan (casing badani membungkus alam ruh pribadi).
Mereka laksana ‘seonggok komputer’ dengan memori yang padat; tak boleh bocor di jalanan, tak ingin ngadat di tengah jalan atau pun tak boleh mengalami interupsi selama dalam perjalanan.
Siapa sang interuptor itu? Sekali lagi, yang selalu menginterupsi manusia-manusia yang melintas jalanan kota itu tak lain tak bukan adalah para sopir taxi konvensional (zaman dulu).
Terlalu ramah, namun amat mengusik (risih). Ada jenis pertanyaan yang tak perlu disodorkan, malah dilontarkan ke penumpang. Sebuah pertanyaan yang tak produktif untuk ukuran masyarakat yang tengah menjalani peristiwa meng-kota (urbanized); memikul milyaran “memori seonggok komputer”.
Sopir mendasamuka; kadang jadi peramal ekonomi, pakar politik atau malah peramal kehidupan (vivants-voyants). Taxi yang bergerak dan sopir yang bertanya, adalah jenis pelayanan konvensional yang bertatap muka.
Padahal, konsumen (penumpang) dan sopir memposisikan diri dalam posisi binary yang tak beridentitas (nir-nama, no name, anonymus). Identitasnya tak lebih dari identitas fungsional (penumpang dan sopir).
Dalam selodong cab atau taxi, hanya ada dua manusia yang dimanjakan oleh keramahan profesi, bukan keramahan primordial.
Ketika memaksa keramahan primordial, maka hubungan manusia di dalam cab atau taxi itu berubah sontak menjadi hubungan silaturahim duaan (deuce) yang sarat emosi jiran (relasi majlis taklim?), tak lagi emosi profesi.
Emosi berjiran itu bawaannya; terlalu ingin banyak tahu tentang tetangga sebelah (alias kepo). Terlalu mengurus dan peduli-pedulian mengenai jiran sebelah.
Lama kelamaan emosi jenis ini, malah bertabiat ikut campur, intervensi dan ingin menguasai orang lain dalam selera menguasai.
Menakluk orang lain dalam defenisi kemanusiaan dan insaniah sepihak. “Sejatinya inilah maujud anti-humanitas itu,” ujar Martin Buber .
Orang-orang membentuk diri berdasarkan maunya orang lain; menurut si anu, menurut si fulan, mengikut kesukaan followers, menurut maunya atasan, menurut kesenangan pejabat, menurut maunya orang-orang kaya dan berpengaruh, maunya calon mertua, calon semenda, menurut selera ulama, keinginan seorang pengkhotbah (inilah mental gembala, mental kerumunan).
Diri tak pernah menjadi diri dalam kepungan tembok emosi berjiran. Dia mencari wadah yang tepat untuk menyalur ihwal itu; alamat yang tepat untuk itu dikenal sebagai kampung, luhak, huta.
Inilah ranah batin primordial. Di sini (huta, luhak, kampung, dusun, banjar) pelayanan taxi atau cab modern tak diperlukan. Dan memang tiada.
Dia berubah wujud dalam moda angkutan roda-pejal; beca, bendi, andong atau malah pedati he he…
Walhasil, sekolah (mental) “kerumunan” itu setiap detik mengepung kita; termasuk di dalam angkutan perkotaan yang berpembawaan personal (taxi yang bergerak).
Penyebut dan pembilang hanya ada satu di dalam selodong yang bergerak itu. Tapi, uap kerumunan senantiasa membayang dan membingkai perjalanan itu.
Orang kuat, berada di dalam kesendirian. Bak seekor singa. Apakah anda mampu menjadi singa di dalam kencangnya larian taksi? Sekaligus anda mampu membentuk “singa kembaran” di samping anda (sopir)? Dalam laras berdampingan dengan saling tak mengintervensi dan mempengaruhi?
Kemana kita hendak berlari?