Sepihak versus Gempita

Ilustrasi: mellon.org
Ketenangan tak bisa dibeli, juga tak bisa dipaksa. Sesuatu yang bisa dibeli dan dipaksa, akan berujung limbung. Kesejatian hidup itu adalah “memberi”, bukan meminta, apatah lagi mengambil.
Anna Frank, seorang gadis kecil korban Nazi Hitler berucap pendek, namun menggetar; “memberi tak kan membuat kita jadi miskin”. Maaf dan memaafkan tetap terpaut pada peristiwa “memberi”; maka dikenallah pengucapan (idiom) “memberi maaf”. Memberi maaf, tak perlu menunggu sang peminta; meminta-minta maaf.
Kebudayaan besar dan tinggi, ditandai sebuah penanda bernama “maaf dan memaafkan”. Kebudayaan tidak dibangun atas nanah kesumat. Dia tak subur dan tak biak dalam dendam. Kebudayaan besar selalu berada dalam media tanah yang subur dengan bahan “baja” (pupuk) bernama maaf. Demi dan untuk merayakan maaf, setiap agama membingkainya dalam hari-hari suci; hari agung, hari kudus, hari raya yang menjadi penanda bahwa ujung dari semua perbuatan dan keinginan kebudayaan manusia adalah damai dan cinta.
Tak ada modal paling mulia untuk menukil damai, selain hati. Kebudayaan itu adalah peristiwa hati, bukan memperturutkan hati. Kebudayaan sebagai efek ilahiyah bersumber dari “mata air” hati nan bening dan menggetar. Suasana bening dan menggetar itu bermuara jadi kesadaran bersama (kolektif); menuai cinta. Setiap kebudayaan dan agama merindui cinta. Dalam cintalah semua agama saling bersanding dan siap untuk hidup saling berdampingan dengan segala ihwal nan ragam dan serba lain.
Di luar diri kita, ada segempita makhluk yang telah ada dan mengada sebelum manusia hadir di muka bumi. Kedatangan kita di muka bumi, tak lebih sebagai penggenap bagi sejumlah kehadiran sebelumnya. Kehadiran-kehadiran sebelumnya itu memiliki fungsi “pelayan” bagi makhluk yang dinisbatkan sebagai “tuan” atau “khalifah” atau “manajer” yang diberi hak mengatur dan menyusun sejumlah kehadiran itu menjadi sesuatu yang produktif di depan cermin kehidupan. Peran selaku “pelayan” itu dinukil oleh semua jenis vegetasi, fauna, makhluk halus, juga benda-benda abiotik terhadap sang “tuan” bernama manusia.
Sumber hayati yang berada di sekitar “tuan”, menjadi pembuka jalan bagi manusia untuk menunjuk segala fenomena yang terjadi di depan mata, maka lahirlah bahasa. Setelah bahasa, manusia memberi makna kepada segala yang berada di sekitar hidupnya, (sekali lagi tetap lewat bahasa) dan pencanderaan di belakang bahasa. Bahasa itu pun beranak pinak, menyesuai lokus, sehingga terbentuklah dialek. Sebagaimana burung berkicau, kicauan itu pun kaya dengan dialek lokal di mana kumpulan burung-burung itu hidup dan menukil sari makanan.
Dalam keragaman tempat, lokus, iklim dan curah hujan, kelembaban, kekeringan, juga memberi suntikan kepada akal budi manusia untuk menyusun bahasa demi menjelaskan segala fenomena di depan mata yang ragam, dan tak kan pernah seragam itu. Dari sini, dinukillah bahwa kehidupan itu sendiri bawaan asalinya adalah keragaman. Bahkan keseragaman yang dipaksakan untuk sebuah hajat merayakan kehidupan, malah dia akan berbalik menjadi racun dalam nada bom waktu.
Maka, berbahagialah dengan sejumlah “kelainan” (the others) yang hadir di depan mata, sehingga dia menjadi energi dan gizi yang baik bagi kebudayaan. Keragaman dan serba lain itu sendiri menjadi bahan baku setiap kolektivitas dan perkauman untuk membesarkan diri, meninggikan kebudayaan masing-masing. Sebab, lewat kehadiran yang serba lain itu lah sejatinya kita bisa saling intip, saling belajar dan melakukan semacam “pencangkokan silang”, demi menggetarkan kehidupan yang senantiasa membaharu.
Tanpa bahan baku keragaman, kehidupan manusia dan kebudayaannya, hanya berlangsung dalam keabadian masa lalu. Kita mengikat atau merantai diri dengan kaidah-kaidah masa lalu yang tak bergerak. Seakan-akan kehidupan itu statis, dan senantiasa menjadi pemuja masa lalu, yang dikonstruksi dalam keinginan-keinginan kekinian yang mungkin pula tak lebih dari sebuah jalan “kekeliruan”.
Setiap kita merindukan kenyataan damai dan tenang, namun bukan hasil dari sebuah transaksi jual beli. Kenyataan damai dan tenang itu sejatinya adalah hasil dari stilasi hati sebagai efek ilahiyah dengan menyunting keragaman yang diletakkan dalam posisi bahan baku yang tersedia dan lebih duluan hadir berbanding dengan kehadiran manusia pertama di muka bumi. Kita yang hadir dalam barisan akhir dengan sifat penggenap itu, hendaklah menghormati segala sesuatu yang telah meghadirkan dirinya sebelum kedatangan kita.
Dengan begitu, kita mampu membangun keinsyafan mengenai yang oleh Saussure disebut sebagai “khazanah tanda” (lexicon of signification) yang melar dan melebarkan dirinya dalam sejumlah “nan lain” (berbeda atau ragam). Kita yang hidup dalam “keragaman yang terberikan” itu, harus berani menyemplung dalam danau kearagaman itu, dan pasti kita akan memperoleh sesuatu yang luar biasa, dari pada kita mengucil diri dari keragaman yang menghidang rasa dan dimensi serba kaya itu.
Berkat kehadiran “nan lain” pula lah setiap kita memiliki peluang menjadi terjulang. Bahwa sekumpulan nan seragam tak kan pernah menjulang di antara sesama yang seragam pula. Sesuatu yang dijulang adalah sesuatu yang lebih, yang bernilai lain dan lebih, dia bisa bernama mahkota, bisa bernama puncak buih, atau pun bunga nan menawan.
Dia menjadi bunga nan menawan, di atas hamparan kehadiran nan ragam. Idiom bunga nan menawan ini digambarkan dalam bahasa Prancis yang merdu sebagai “kembang apel” (la fleur du pommier) yang bandingannya setara dengan “kembang manusia” yang mencapai puncak kehormatan dalam kemasan kebudayaan dengan idiom yang sama menawannya, sebagai “bunga para bangsawan” (la fleur de la noblesse).
Lalu, apakah jalan untuk menciptakan bunga nan menawan itu cukup hanya bermodalkan kecamuk sepihak kita saja? Paut dan pagut lah segala ihwal nan ragam di sekeliling kita, agar senantiasa hidup kita menjadi bijak dan masak dalam menanggapi segala “lexicon penanda” di semesta buana. Jika ini tak dilakukan, kita hanya membangun kecamuk sepihak dan bersiap-siaplah menuju pada lebuh raya bagi kehancuran kebudayaan. Tanpa sadar kita telah membangun kebudayaan yang saling mencuriga di antara sesama (paranoid). Kebudayaan bukanlah sebuah proyek pesimisme, tapi sebuah jalan optional (kaya pilihan) dan optimisme, bukan lebuh raya dengan lajur tunggal.