Jembatan Delusi: Jebakan DED?

Ilustrasi: mehrnews.com
Bak meluncur dari langit. Jelang sisa akhir jabatan 2023, pemerintahan Syamsuar-Edy Natar mengelinding proyek besar: membangun jembatan terpanjang di Riau. Banyak yang terkagum dan terkesima. Kian kagum, dia membentang di atas selat yang memisahkan pulau Bengkalis dengan pulau Padang. Makin kagum lagi, jembatan ini akan berdiri kokoh di atas tanah lunak (rawan; aluvial). Maha kagum lagi, dia satu-satunya jembatan di Riau yang mempertemukan punggung dua kabupaten di kawasan selat Melaka.
Bertambah kagum lagi, tahun ini sudah masuk fase Detail Engineering Design (DED). Artinya, semua sudah melalui feasibility study (kajian kelayakan). Lalu kapan studi ini dilakukan? Kapan dengar pendapat, ekspos di DPRD atau presentasi masukan publik; tokoh masyarakat, pakar dan pegiat lingkungan? Bertambah kagum lagi, penyebutan topografi (mungkin sengaja dikelirukan). Di peta resmi Provinsi Riau, tidak ada nama pulau Tanjung Padang. Yang benar adalah pulau Padang. Tanjung Padang, sebuah desa, terletak di pulau Padang Kecamatan Tasik Putri Puyu, Kabupaten Kepulauan Meranti.
Kenapa proyek ini jatuh di atas dua pulau? Apa pertimbangan taktis-strategisnya? Koridor pulau terluar kah? Benteng garis kedaulatan negara kah? Daya ungkit ekonomi kawasan perbatasan kah? Geliat ekonomi insulander kah? Aorta ekonomi maritim (blue econimic) kah? Traffic orang dan barang yang padat-bergemuruh? Demi merangkai pulau? Atau hanya main-main DED dengan konsultan Jakarta setelah gagal men-DED-kan Twin Tower kantor pemerintah Provinsi di Jalan Cut Nya Dien Pekanbaru? Semuanya tetap berangkat dari niat luhur (good will) dan tetap harus dibaca dengan alat pembacaan bernama “political will” (keinginan politis) di balik itu.
Gempita ekonomi benua (kontinen) sejak terbentang jalan lintas Sumatra (Timur-Tengah dan Barat) yang melayani gerak ruang utara-selatan; sebuah keniscayaan. Maka, apa-apa yang dikaitkan dengan “nawaitu membangun” demi alasan ekonomi, nilai tambah, sisi kebijakan publik, semuanya harus tersambung dengan Sumatra selaku variabel bebas (variabel penentu). Juga variabel highway Sumatra (tollroad) tak bisa dipaling.
Siapa yang memanfaatkan jembatan antar dua pulau terluar itu? Nilai tambah ekonomi apa yang hendak didesak, didorong atas hadirnya jembatan itu? Anggaran yang ditumpahkan untuk menjayakan proyek itu, apakah ter-cover oleh APBD Riau? Rasanya dengan sisa masa jabatan 2023, amat musykil. Kalau bisa diraih lewat APBN (pusat), sudah sejauh mana upaya ini dilakukan? Apa respon pusat? Atau kah ini hanya sebuah “proyek main-main”? Kenapa dia disangkut dengan peristiwa “main-main”, karena dia tidak berada di “zona remote” kekuasaan. Proyek ini sengaja dilontarkan sedemikian jauh dari pusat pemerintahan di Pekanbaru, sehingga dia memberi efek anggun (handsome effect) bagi yang mendengar dan membaca pemberitaannya: Terpanjang, Termegah. Serba wah…
Ketika terkesima dan kagum, daya kritis rakyat pun melemah. Muncul imajinasi ranum, halusinasi dan delusi empuk. Posisi mental masyarakat awam dalam status: menanti dan menunggu. Berdiskusi mengenai konstruksi jembatan dalam ragam perspektif, pun dilakukan. Jua diskusi kebijakan publik. Ada beberapa tipe struktur-konstruksi: tunggal dan kombinasi. Bisa tunggal cable stayed, bisa tunggal rangka baja, bisa tunggal massive concrette. Pun, bisa tampil dalam kombinasi: rangka baja-cable stayed dan seterusnya. Selari realitas lapangan: jenis tanah, arus selat, felositas angin, cuaca dan air laut, jadi konsiderasi wajib. Secara teknologi, tak perlu dicemaskan.
Secara ekonomi perlu pendalaman menukik. Sebab, anggaran yang dibenamkan pada bentang jembatan yang menghubung pulau sunyi dari kegiatan ekonomi mahkota ini, tentu menjadi pertanyaan besar. Kenapa tak membangun jembatan yang langsung terhubung ke Sumatra, walau wajib mempertimbangan kode IMO (International Maritime Organisation). Jalur destiny pelayaran kapal (vessel) ukuran raksasa; Selat Lalang, Selat Bengkalis, juga Selat Rupat: tentulah ketinggian lengkung jembatan disesuaikan jenis kapal yang melintas.
Kalau hanya demi daya-ungkit ekonomi antar-pulau (insulander), bisa disiasati dengan menggemburkan angkutan penyeberangan beberapa titik di Sumatra yang tersambung dengan titik gemuruh ekonomi di pulau Padang, pulau Tebingtinggi, pulau Rupat dan pulau Bengkalis, pun pulau Rangsang. Dengan catatan: Pengelolaan angkutan penyeberangan ini diserahkan kepada swasta lokal, lewat kendali manajemen tradisional yang sudah ada dan berjalan efektif selama ini.
Artinya, Pemerintah datang dan hadir di tengah geliat kreativitas ekonomi yang sudah ada cikal bakalnya (embrio) maupun yang sudah berdenyar di tengah kehidupan sosial cergas dan progresif. Di sini, pemerintah mendatangi dengan kecerdikan demi memupuk kecerdasan lokal yang sudah terhidang dalam kenyataan sosial. Kenapa harus repot-repot “mengakal-akali” lewat siasat pembangunan fisik yang jika dilihat dari rentang waktu pengerjaannya, amat tidak masuk akal secara kalender (medio 2022 sampai 2023).
Pengalaman membangun jembatan Siak-4 (APBD Riau) yang menghubung Jalan Sudirman Pekanbaru dengan kawasan Rumbai (Jalan Sembilan) dalam rentang jabatan empat orang Gubernur (Rusli Zainal, Annas Maamun, Arsyadjuliandi dan diresmikan Wan Thamrin).
Ini bukanlah sebuah political framing ketika indikasi rezim ini teramat minim dalam perbuatan pembangunan fisik, walau dengan sejumlah alasan era Covid-19. Fase DED, bukanlah sebuah medan sirkuit untuk bancak-bancakan proyek delusi…