Gilang, Tak Menyerbu

Ilustrasi: varnasummer.com
#YusmarYusuf
Makhluk imajinasi Tuhan? Kita hanya menyelenggarakan sejumlah peran yang telah digaris dalam “iPad Tuhan”? Maka, peran, tindak-laku yang sedang, telah dan akan dijalani di muka bumi ini tak lebih dari peran dan tindak-laku yang berpembawaan rewind (putar ulang).
Semacam copy paste atas pola dasar yang telah ditetapkan? Artinya, kita tak memiliki pilihan bebas (free choices) selaku hamba, namun ditabalkan pula sebagai kalifah muka bumi.
Di sini, manusia menghadapi kenyataan yang serba bertolak-belakang dengan sejumlah terma (contradictio in terminis). Pada satu sisi bermahkota kalifah bumi, di sisi lain hanya menjalani serangkaian tindak imajinasi makro-kosmos yang telah dirumus sejak awal penciptaan kosmis.
Ketika akal mengawal, ilmu menuntun, sejatinya manusia memiliki pilihan bebas. Termasuk dalam hal beribadah. Saat memasuki bulan Syawal sebagai penanda kegembiraan, saling maaf bermaaf, gempita suka cita itu diletupkan.
Tapi, malah yang terjadi di langit, udara sekitar kediaman kita terasa amat sunyi, sepi, jauh dari segala pikuk kegembiraan. Berbeda selama bulan Ramadhan, langit, udara, mengalami polusi suara yang menyentak-nyentak; terjadi semacam festival suara yang melambung-lambung.
Ada lantunan dengan segala macam turunannya. Yang paling dominan itu adalah rumpun himbauan; “mari bersama-sama, mari dan mari”. Suara peringatan dan sejumlah turunannya; masa batas ibadah; sahur (imsak), waktu berbuka, had (batas) pembayaran zakat.
Di era super modern ini, setiap rumah tangga sebenarnya telah memiliki perangkat kronogram (candrasengkala); alat pengingat atau pemandu yang disediakan gadget (HP pintar); apakah itu alarm, morning call, wake-up call. Sehingga, fungsi-fungsi himbauan yang dilaungkan melalui gerakan sosial di luar rumah, otomatis menjadi lemah (alias kurang berdaya).
Saat ini, semiskin-miskinnya orang, pasti berbeda dengan kemiskinan yang menimpa pada rumah tangga era 60-70an. Dulu, miskin memang benar-benar super susah. Untuk urusan primer saja amat sukar (makan minum). Saat ini, rumah tangga miskin, masih bisa diampu dengan kehadiran (paling tidak pasti) salah seorang anggota keluarganya memiliki smart phone dan masih mampu mengisi pulsa saban bulan. Punya kenderaan roda dua (walau kredit). Ini dugaan awam.
Ketika segala ampuan perangkat itu tersedia, saat inilah yang paling tepat untuk menggiring kemandirian rumah tangga membangun kesadaran, dalam sikap laku, kemandirian dalam ibadah dan keselesaan otonom yang diimpikan setiap anggota keluarga tanpa intervensi oleh kepungan himbauan yang bersifat komunal.
Sebab, di tengah pandemic yang mendera kehidupan, kita dituntut untuk mandiri dalam segala hal, sembari tetap membangun kepekaan sosial dan saling bantu dalam bentuk material, bukan dalam bentuk julur himbauan segala himbauan yang telah menjadi DNA-nya kaum pejabat atau pemerintah itu.
Himbau-menghimbau ini, dilihat secara sunsang, dia berperan selaku instrumen penyerbu. Pucuk senjata yang menyalak, bak senapan dikokang dan ditodongkan kepada awam, rakyat yang lemah, duafa, tak memiliki hak memilih dan memilah. Demikian pula deru-deram suara ceramah sejak pagi hingga pagi berikutnya, seakan tanpa jeda, juga maujud dari todongan-todongan suara yang tiada henti menyerbu dan menyerang (attact).
Kemenangan yang disunting dari hasil serbuan dan bentakan itu adalah jenis kemenangan patriarkhis (kemenangan ofensif). Lazimnya kemenangan puak lelaki. Ujaran-ujaran searah (demagogi), laksana terjunan wahyu berjujai dari langit dan berharap terjadi gelimpangan benua akibat kejutan terjunan “wahyu yang tercecer” itu.
Di sisi lain, kemenangan boleh jua dipetik lewat jalan bertahan, mode defensive. Tidak mesti ofensif (menyerang). Inilah jenis kemenangan yang hendak diperkenalkan melalui ibadah puasa yang mengedepankan sisi senyap, sunyi, sepi dan bersedekap demi memanen suara hati (conscience harvesting).
Puasa itu, domain utamanya adalah “menahan” (imsak). Semua agama memiliki sisi imsak (menahan diri dan nafsu) ini: tapa brata, moksa, samsara. Tradisi Yahudi; puasa Yom Kipur, Katholik; puasa Paskah dan Jumat Agung, Mesir Kuno: puasa dewa matahari dan Nil, Yunani Kuno: duduk di atas tanah dalam keadaan duka; Romawi Kuno: pertobatan dan penyesalan mendalam, Zoroaster: tolak bala, walau lebih dianjurkan bekerja keras, Manuisme: puasa ibadah suci, Cina Kuno: tolak bala.
Yang paling ekstrim, Tibet; puasa 24 jam, air liur pun tak boleh direguk, Shinto: puasa pantang akan segala ihwal kotor. Semua bentuk ‘imsak’ (menahan) ini berpembawaan bertahan atau menahan dalam kualitas ‘feminin” (dimensi Jamaliyahnya Allah).
Sejatinya, pada bulan Ramadhan itu kita menghindari segala bentuk dan ragam hiruk-pikuk. Pikuk itu baru diledakkan pada bulan Syawal sebagai tanda kembali fitrah, kembali ke harkat dasar penciptaan kosmis tentang manusia yang kudus, manusia nan suci bak kain sila, manusia yang bersorak tentang kegembiraan menyunting ‘kembang suci’ dan melekatkannya di sela-sela “daun kuping” sehingga memberi efek jelita. Hasil panen berkat berdiam diri, membatukan nafsu, mematikan keinginan dalam senyap dan sunyi selama menjalani saum yang bertemali langsung antara aku dan Tuhan (ibadah yang teramat pribadi).
Kita mungkin, selalu mengalami kecohan-kecohan serba massal demonstratif. Bahwa segala ibadah harus dimassalkan, harus dimajeliskan dalam sibuk dan pikuk sebagai cara meng-imarah-kan (menyuburkan) ibadah secara ekspos-demonstratif. Dia diajak menyerang keluar diri.
Berpuasa itu sendiri, sejalan dengan tabiat bawaan diam yang feminin itu, berhajat menusuk, menikam ke dalam batin, ke dalam suara hati. Demi menyunting ‘bisingnya sunyi’ dari suara hati…
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sudah terbiasa diajar dan belajar dari ‘kemenangan’ seorang perempuan yang mengedepankan sisi menahan dan bertahan itu. Sisi kemenangan kualitas feminin …