Klepto Adam?

Ilustrasi: poskata.com
Gangguan jiwa perdana yang diidap manusia adalah clepto (mania) alias mencuri. He he… perilaku ini terjulur ketika seseorang menganggap tak ada yang mempersaksikan perbuatan yang tengah dirancang dan dilakukan.
Dalam bahasa Hindi dikenal dengan sebutan ‘thug’, bermakna ‘mencuri’. Rasanya lebih sedap disebut dalam loghat Minangkabau; mancilok.
Peristiwa ini berawal dari sebidang kebun (garden). Klepto dan pandangan pertama: Adam hadir dengan sebatang tubuh. Di depannya ada buah terlarang, hadir sebagai sosok tubuh yang lain (Adam = satu tubuh. Buah larangan = tubuh lain).
Masing-masing tubuh memiliki relasinya sendiri. Ketika Adam ingin mengambil (mencuri) buah, maka terjadi upaya untuk merusak jejaring relasi buah itu yang telah terbentuk secara alam(i).
Adam tergoda karena pandangan pertama. Maka, klepto (mancilok) itu amat marak terurai oleh pandangan pertama, kerlingan perdana. Di sini, Adam tak saja merusak relasi, akan tetapi sekaligus menganiaya relasi-relasi dari sosok buah yang ada di depan hidungnya.
Kalau Adam mau menggunakan ‘kerlingan kedua’, dia pasti akan mengerti bahwa; “Oh ternyata berjalin-jalin bilik-bilik relasi sang buah itu dengan sistemnya sendiri”.
Dan Adam akan menjadi malu. Namun, Adam tetap tergoda dengan ‘pandangan pertama’ yang mendorong jadi musibah kosmik: Keterlemparan…
Klepto oleh pandangan pertama itu apakah boleh dikaitkan dengan ‘kehendak-jahat’? Lalu, apakah kejahatan itu? Adam melakukan kejahatan asal (klepto) yang sejatinya tak lebih dari upaya perusakan jejaring yang sudah terhimpun molek di dalam sistem kebun, taman, dusun dan leladang.
Tak saja secara demonstratif keluar, klepto juga menusuk ke dalam diri pelakunya, sehingga dia menjadi racun atau meracuni diri sendiri. Di sini Tuhan hadir sebagai ‘pencegah’; agar Adam tak meracuni tubuh buah, juga tak meracuni tubuhnya sendiri. Pun, buah tidak meracuni Adam. Interaksi racun-meracuni ini berawal dari kebun, pandangan pertama pun marak terjadi di kebun-kebun.
Maka, berandai-andailah kita sejenak dengan kepal tangan nan menggenggam, mempertontonkan otot, kerasnya bisep, urat-urat yang mengkawat, dengan tujuan memukul.
Memukul dengan lengan terkepal memiliki sisi buruk (kejahatan), ketika dia digunakan untuk membunuh tubuh lain yang berada di luar tubuh kita, ujar Spinoza.
Ujung dari sejarah tangan terkepal adalah darah dan kematian tubuh yang lain. Di sini terjadi perusakan dan perisakan relasi tubuh yang dibunuh itu dengan sistemnya sendiri.
Dia memiliki rerantai jaringan sosial, jaringan komunitas; spiritual, hobi, profesi dan sistem sosial rumit lainnya.
Tangan yang terkepal keras-tegang itu juga memiliki sisi baik, ketika dia dihajatkan untuk melatih kegesitan, bugar dan sehatnya tubuh, kecergasan fisikal, machonya seorang lelaki, kelincahan gerak, kekarnya telapak tangan, kukuh dan kawinya genggaman.
Tak sekedar sisi baik, dia juga membawa kebaikan dan kebajikan, ketika lengan yang terkepal dengan
genggaman yang kukuh kuat itu digunakan untuk memecah batu demi sesuap makan anak isteri
di rumah.
Lengan terkepal itu digunakan untuk menempa besi, tembaga, perak sehingga dia menjadi produk kerajinan yang memukau dan menjadi warisan peradaban manusia.
Tangan terkepal itu digunakan untuk menyusun batu-batu cadas kaku, lalu menjadi rumah-rumah Tuhan, candi kuil, sinagoge, gereja atau pun masjid.
Lalu, bagaimana celah kejahatan itu beroperasi? Ya, dia terjadi ketika kepal tangan yang mengeras itu digunakan untuk memutuskan rerangkai relasi yang sudah sedemikian terbangun oleh alam (kehendak Tuhan, natural law).
Maka, Adam memandang buah di depannya oleh kekuatan mistik pandangan pertama, digunakan untuk merusak dan menganiaya rerangkai relasi sang buah terlarang.
Dan buah itu sendiri adalah toxid (alias racun) yang bisa memecah dan membuyarkan tubuh Adam dalam serangkaian relasi (tubuh) dengan sistem yang telah sedemikian rupa terbangun dan terikat.
Di samping buah itu beracun, perilaku ‘klepto’ yang dipelihara Adam itu sendiri adalah maujud “racun” di dalam diri Adam dengan serangkaian nafsunya.
Akibat eksternalnya? Kemabukan oleh ‘racun buah dan racun diri sendiri’ Adam, akan menjadi
‘media’ secara demonstratif untuk menggauli pasangannya (Hawa, Eva) di hamparan kebun
kudus (The Eden Garden).
Lalu, kita sebagai zuriat dari bani Adam itu meneruskan “kemabukan-kemabukan” yang dicor-cor ulang dalam pemaknaan baru seakan-akan konstruktif, padahal destruktif (berpembawaan menghancur diri sendiri).
Suatu kali saya bersua dengan sosok lelaki dengan telapak tangan yang keras kaku (seorang tukang bangunan rumah).
Dia berkata: “Rumah-rumah ibadah kita; masjid, gereja, kuil, sinagog, candi bukanlah rumah kehidupan. Kita yang beribadah di atas lantai-lantai rumah ibadah itu adalah kita yang sedang bergembira ria di atas bermilyar-milyar bangkai jasad renik, akibat dari pembangunan rumah ibadah yang tak memberi kesempatan kepada mereka bermigrasi secara sadar dan teratur”.
Bagi si tukang, ‘rumah kehidupan’ itu adalah sejenis konstruksi rumah panggung Sumatera. Saat ini bangunan serba permanen. Kita memutus jejaring relasi segala jenis kehidupan di bawah tanah dengan gumpalan cor-cor concrete massif.
Satu lemparan mesin penggiling cor semen itu, berapa juta kematian menimpa segala makhluk dalam bumi?
Begitu juga kala kita membuka kebun besar (sawit) dengan tebangan, undukan tanah, lemparan pupuk kimia dan serangkaian ikutan tindak-laku perkebunan modern lainnya.
Adakah ini jenis dari tindak-laku mata air “gangguan jiwa” asal bernama kleptomania yang dirawat Adam dalam pandangan pertama?
Spinoza: “Meskipun Tuhan tahu masa lalu dan masa kini Adam, hal ini tak membuatnya memahami Adam yang telah dirampok oleh kenyataan masa lalunya. Duhh ternyata keadaan masa lalunya berkait dengan sifat dasarnya saat ini”.