Ilustrasi: plainenglish.com

#YusmarYusuf

Sebelum berkebun, berhutanlah dahulu. Setelah berhutan-hutan dan tau lemaknya setumpuk hutan, maka berkebunlah dalam kaidah saling menjaga, bertolak-angsur (toleransi dalam keinsyafan ekologis). 

 

Kebun dan perkebunan adalah ‘alam buatan’ (made in manusia). Ketika masuk dalam kaidah buatan, maka ada peran personal yang mengukir bidang, ruang, garis dan titik.

Peran personal ini hanya sebatas mengusung ‘fitrah antropologis’, tidak pula dalam usungan “api Ketuhanan”. Tak ada hak kita, memelarkan peran itu lebih lanjut. Ya, hanya sebatas ‘fitrah antropologis’.

Bahwa kebun terjadi, berasal dari ruang yang tidak hampa. Dia hadir dalam sejumlah rangkaian harmoni dan orkestrasi alamiah. Selanjutnya, hutan dibelah, dipecah dan dibagi-bagi dalam petak-petak metrik modern.

Jadilah perkebunan dalam ukuran besar oleh orang-orang yang bermimpi dan berimajinasi tentang masa depan yang begitu lekas dipaksa-hadirkan pada saat serba kini.

Hutan sebagai saujana peradaban, memikul tugas pewahyuan yang tercecer. Di dalam hutan ada segala bunyi dan nandung tentang cinta, kohabitasi (hidup berjiran) dalam nada puncak kekayaan hayati dan plasma nutfah.

Ekosistem gambut dengan ‘gaya air permukaan’ adalah wilayah sensitif untuk didatangi oleh sebuah nafsu eksploitasi, tanpa diselip dengan kaidah keinsyafan ekologis yang berkesadaran. Lalu, bagaimana menginjab kesadaran itu?

Datangilah hutan dengan segala perkakas yang maha komplit itu lewat cinta. Bahwa ada kehidupan
kohabitasi antara kita dengan segala makhluk yang telah duluan hadir di dalam istana bernama hutan.

Menjahit chip cinta keinsyafan ekologis itu, secara antropologi-sosial dilakukan lewat konstruksi ‘mitologi’ tinggi yang jadi penyangga dan penjaga kawasan hutan sejak ribuan tahun.

Manusia urban melekatkan peristiwa ini dengan sebutan ‘kearifan lokal’ (local wisdom). Namun, ‘makhluk’ bernama ‘local wisdom’ ini tak pernah dirawat. Malah dianiaya oleh mesin-mesin kapitalis-modern: Berbekal bunga bank dan sejumlah pinjaman taktis dari lembaga keuangan yang mengandang kota-kota bergemuruh.

Mitologi itu dengan sadar dibangun oleh penggawa kampung bersisian hutan, demi merawat ‘batin’ (penghulu) dalam sistem sosial penduduk yang mengenal jenis pemimpin yang tak banyak berkata-kata (pemimpin dengan sebutan ‘batin’, alias menggunakan bahasa batin).

Mereka hidup dalam sejumlah umpama dan alam ibarat. Maka, tersebut beberapa mitos yang menyandarkan pada sosok figur yang merawat hutan secara mitis bernama Si Kodi dalam mitologi Melayu daratan Sumatera (Tengah).

Di hulu-hulu kampung, di persimpangan anakan sungai, pertemuan dua arus, perjumpaan dua atau tiga bukit, makhluk mitis yang dipanggil Si Kodi hidup dalam nandung merawat dan menyapih.

Bagi anak-kemenakan yang akan memasuki hutan, jangan mengusik. Maka jalanilah serangkaian ritus demi membujuk Si Kodi.

Pola-pola membujuk ini masuk dalam ritus-ritus sakral; oleh seorang bomoh yang dipercaya bisa berkomunikasi dengan makhluk-makhluk jembalang semisal Si Kodi.

Perarakan ritual sakralitas itu menghasilkan semacam kesepakatan sosial pemukim kampung bersisian hutan dalam sejumlah norma dan kaidah: “Tebang satu, tanam tiga”“sauklah air yang hidup”“jangan membuang sesuatu ke dalam air mati”“jangan mematah dahan”“syairlah segala nandung berirama indah demi memagut hati Si Kodi”“sisakan buah hutan untuk kemudian”.

Ingatlah “menumbai”, tradisi memanjat pohon tinggi Sialang (keluarga Kempasiana) untuk mengumpul madu yang dilakukan pada sudut malam yang teramat sejuk, seraya bernyanyi dalam gaya falsetto etnik yang tak terjelaskan keindahannya.

Hati sang ratu lebah merebah oleh bujukan nyanyian yang dilaungkan pada dua pertiga malam (waktu yang sama menunai ‘tahajud’).

Para penakluk tanah liar oleh sejumlah wali majenun, mereka yang setia dalam cinta (fedeli d’amore), memiliki nama dari sisi bunyi agak bersepupu: ya, Khidr, Khidir, Khezr, Khaidir. Inilah sosok yang diyakini sebagai ‘figur muda abadi’ dengan identifikasi angelology (ilmu kemalaikatan) lekat dengan warna serba hijau.

Dia adalah sosok guru kebijaksana bagi Musa. Figur Khidr suka menyenangi dan membahagia para tetamu (filoksenia). Penyintas segala tarikh dan kalender mistik, juga kalender psikis. Nama ini dekat dengan sapaan makhluk jembalang dalam peliharaan kesadaran kolektif Melayu; Si Kodi.

Muncul lagi derivasi berkaidah oleh para pengelana mistika-kebenaran; Ilyas (Elijah). Apakah dia identik dengan Khidr? Satu nama dua tubuh? Diduga dalam telaah hagegiografi, nama ini adalah turunan kelima dari Noah (alias Nabi Nuh). Khidr dan Ilyas (Elijah) adalah Bapa Kebijaksanaan.

Maka, andai dua nama satu person atau sebaliknya dua nama dua badan; ada semacam anjuran “kearifan universal” (bukan lagi ‘lokal’) ha ha… untuk menyeru nama ini dalam dua keadaan: ketika anda tersesat dalam kerumunan belantara hutan nan lebat, serulah nama Ilyas (Elijah).

Sebaliknya, jika anda tersesat di lautan tak bertepi, serulah nama Khidr. Lalu, Si Kodi ini apakah satu entitas sintetis antara Elijah dengan Khidr dalam alam Melayu yang berbungkus hutan tropis? Entahlah.

Yang jelas maujud Khidr mitis “muda abadi” itu dialamatkan serba hijau (hutan), warna spiritual bagi Islam. Dua nama yang masih hidup sampai hari ini. Ujaran seorang imam kepada orang Kristen: “Aku adalah dia yang dalam Gospel bernama Elijah (Ilyas)”: Penjelasan mengenai perjumpaan Musa dengan Ilyas-Khidr.

Setelah berhutan, lalu Anda berkebun. Demi menghadirkan fenomena Khidr-Elijah, ada baiknya dari luasan kebun yang memecah hutan asli itu, disisakan dalam kisaran 10 persen wujud hutan original yang terletak di tengah-tengah kebun itu.

Dia hadir sebagai ‘tautan hati’ kepada tanah Sumatra, Kalimatan, Papua, Sulawesi yang menghubungkan tentang sejarah tumbuhnya pulau-pulau ini dalam gaya serba endemic (tetumbuhan).

Dia bak ‘museum ekologis” dalam nada ‘keinsyafan ekologis’ berkesadaran spiritual. Di situ, orang boleh berseru dan berpantun tentang sosok Elijah, Khidr atau pun Si Kodi. Ya, sebuah teras mini akal budi…

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *