Kebun Khalwat: (Seclusion)?

Ilustrasi: ctfassets.net

#YusmarYusuf

Jangan heran ketika Anda melintasi jalan raya pesisir timur Bengkalis-Dumai, bersisian selat Melaka menemukan deretan kampung-kampung dalam kebun getah (karet). 

Sesekali dihiasi rimba kayu gelam yang menawan. Di antara kebun ada rumah-rumah penduduk tempatan yang tersuruk agak ke dalam; gaya rumah panggung, berdinding papan, tampil sekenanya, jarak antara satu rumah dengan rumah lain dalam kisaran 100-200 meter.

Rumah-rumah panggung itu tampil dengan warna khaki (hasil semburan minyak kruing); yang lebih menonjolkan tampilan urat dan serat-serat kayu. Lugu, muram, murung, lusuh, jujur dan sekaligus agung takzim.

Inilah laman kehidupan orang-orang Cina tempatan yang menjalani kehidupan gaya kampung, bertani, berkebun, hidup dalam rasa bawah standar kecukupan. Namun mereka bahagia: Kampung antara Sei. Selari-Tanjung Labu.

Mereka mengusung langit nan tinggi dalam kaidah Thian gaya pastoral kebun dan tani.

Sudah lebih seabad kehidupan kampung itu berlangsung dalam senyap. Harmoni dan saling tolong antar sesama; tak Cina, tak Melayu.

Mereka diikat dalam persemendaan selaman bermain, sekutub hidup dan sejurai mimpi yang terkatung-katung, walhasil tetap melambung pada generasi ke tiga dan keempat.

Kehidupan penuh khalwat, gaya pastoral, seclusion style (menjauhi dari keriuhan serba mengkota). Hidup damai dengan alam dan berinteraksi dengan segala tanaman dan haiwan-haiwan liar.

Namun, semua terliarkan ini menjadi jinak oleh hati mereka yang senantiasa ‘rekah dan merekah’.

Pun, pemandangan pulau bercermin laut bening, berderet kampung-kampung kecil menempel sepanjang selat Tiung (antara pulau Rempang dan Galang).

Nyata kehidupan pastoral orang-orang Cina suku Teucheuw melekat dengan sebidang kebun tropis, membangun dapur arang, berinteraksi dengan orang-orang suku Galang (Orang Suku Laut; Sea Nomade), dan terkadang beberapa pucuk dari pimpinan Teucheuw itu menjadi patron dalam relasi ‘dagang kulak’ antara orang-orang tempatan.

Mereka tetap mengeja dan membaca langit dalam jalan khalwat “kebijaksanaan timur”, dalam senyap dan sunyinya kebun-kebun yang bertebing kejernihan laut yang sesekali menombak mata dalam gaya biru safir, pada kala yang lain hadir dalam gaya hijau nilam berbuih ujung putih bak kambing tertidur.

Laut, karang, tebing, hutan dengan segala keindahan isinya adalah ihwal serba duniawi yang sejatinya menggambarkan kenyataan samawi dalam versi ‘kebijaksanaan timur’ (the oriental wisdom), juga oleh para pelaku tasawuf tajalliat.

Maka, tersusunlah sederet ‘kesenian suci’ (hieractic art) dalam godaan ‘doa bunga matahari’ (heliotropium): “Sangkalan apalagi yang bisa kita ajukan atas fakta betapa bunga matahari itu bergerak mengikuti peredaran matahari dan betapa bunga rembulan (selenotropium) mengikuti peredaran bulan, membentuk suatu prosesi sebatas daya mereka, di belakang alam raya tadi? Sebab, pada hakikatnya setiap sesuatu berdoa sesuai dengan jenjang yang ditempati olehnya di alam ini, dan melagukan puji-pujian kepada penghulu rerangkai ilahiah yang ia turuti…” (disedut dari Corbin).

Semua agama memiliki dimensi khalwat yang mengedepankan kualitas ‘mistik’-nya agama. Dia menjadi subur ketika dibingkai dengan peristiwa berkebun dan kehidupan tani yang tak riuh rendah.

Keseharian mereka merangkak di atas ‘titian hati’ nan jernih pualam; tak mencederai dan menganiayai kehidupan sekitar.

Titian hati pualam ini diteruskan dalam juluran waktu yang melar dan mengembang. Sehingga generasi ketiga dan keempat menombak kota-kota Riau (orang kaya Pekanbaru berasal dari kampung Sei. Selari yang pastoral). Kemudian mereka menabrak Batam.

Anak-anak sulingan mata air pastoral itu selanjutnya berdepan dengan gejala pasar kapitalis-konsumtivisme. Termasuk Cina Dabo dan Anambas sana. Mereka keluar selaku pemenang.

Yang paling fenomenal dari semua itu adalah kaum Teucheuw yang menghabiskan hari-harinya di dalam kebun gambir, kilang gambir, kebun buah-buah dan sayuran di atas dada pulau Temasek, menjadi penguasa ekonomi metropolitan terbesar di kota Singa ini.

Ya, tak setakat ekonomi, mereka bergerak dari kebun-kebun muram Tempines, Chua Chu Kang, Seranggon, mengisi ruang-ruang binar Orchad Road.

Bahkan dinasti penguasa politik hari ini marga Lee adalah turunan anak cucu dari kaum pastoral di pulau jelita ujung Semenanjung itu.

Orang meragukan Teuchew, sebab hidup pastoral dan amat seclusion sejak dari tanah besar Tiongkok sana (penganut Taoism) sampai mereka berdiam di pulau-pulau Melayu tropis.

Kaum Hokkian hanya bermain di sisi timur pulau Perca Sumatra. Mungkin berkat “doa bunga matahari”?

Maka, tersebut satu nama dari negara paling sigau muka bumi ini yang memutuskan hidup di punggung gunung, menjauhi keriuhan kota-kota yang sesak oleh segala bunyi dan pikuk oleh pelbagai bau.  Hidup tanpa jiran tetangga. Dialah Wang Xinming (51 tahun) bersama isteri demi menghabiskan sisa hidup di masa senja.

Sosok polos dan pekerja keras (sekali lagi pastoral dan seclusion atau khalwat). Makan minum mereka peroleh dari hasil keringat sendiri.

Kualitas udara dan air numero uno (klas wahid). Mereka sauk langsung kejelitaan air dan oksigen prima dari Thian (maha kuasa nan tinggi). Muncul kebugaran, kesegaran, daya hidup.

Kekuatan khalwat bertepi-tepi, sejatinya adalah gempuran tank waja yang memporak-porandakan kota-kota sebagai benteng peradaban itu (sebuah sangkaan modernitas).

Dia yang “bertepi-tepi”, sejatinya adalah dia yang “di tengah-tengah”. Ihwal setara? Ya, kampung Basilam (Babussalam) di tanah Langkat sebagai kampung Langit yang menjuwitakan kehidupan khalwat gaya suluk (jalan para salik) dalam nada tani dan berkebun.

Dia menjadi punca “mata air” dengan sosok prabawa Tuan Guru Abdul Wahab Rokan. Dalam kebun dan bertani, beliau melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda.

Dalam khalwat yang senyap, bersama murid-murid khalwat, tak sekedar menjinjing Langit dalam gaya “doa bunga matahari”; Segala keangkuhan dan kesombongan tersungkur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *