Bejana Vertikal

Ilustrasi: impakter.com
Penciptaan (khalq) adalah domain Tuhan. Dan satu-satunya makhluk yang menerima hibah dalam “kisah penciptaan” ini adalah manusia. Lalu, Tuhan mencipta dan manusia pun mencipta.
Citra ilahiah yang terkandung dalam kisah penciptaan ini mengalir hingga kini seturut perjalanan panjang sejarah peradaban. Makhluk-makhluk prima seperti Malaikat, tidak memperoleh mandat penciptaan ini, apatah lagi Iblis, haiwan dan segala makhluk yang terhampar di alam raya ini.
Mereka hadir tanpa domain ini (penciptaan). Cipta dan penciptaan bukan lagi digolongkan sebagai ‘alam kerja’, dia sudah dimasukkan ke dalam ‘alam karya’.
Pencipta yang paling awal dan konsisten sejak awal ‘penciptaan kosmis’ hingga hari ini di kalangan kaum manusia adalah petani. Waah sekali lagi petani berada di garda depan. Bukan yang lain. Petani dengan dunia pertanian yang ‘mencipta’ itu adalah profesi mulia dengan prediket profesi terawal dari kisah ‘penciptaan kosmis’; sebuah jalan bertahan hidup (survival) yang dilakukan penuh kesadaran (kata hati); jalan kebaktian (persembahan), jalan penuh suka cita yang menyemburatkan keriangan jiwa, bukan sekedar untuk makanan biologis (demi perut).
Ihwal penciptaan yang dimasukkan ke dalam “alam karya”, adalah sebuah lambang bahwa, tujuan akhir dari penciptaan adalah kepuasaan jiwa, kebahagiaan rohani. Untuk itulah bertani, berkebun disebut sebagai jalan mengenal Tuhan.
Saat ini, di era modern para pencipta (creat, kreatif) selalu dialamatkan kepada para pekerja kreatif; misalnya seniman dalam ragam percabangan seninya; kriya, patung, lukis, sastra, tari, musik, film dan sejenis itu.
Seorang sastrawan (novelis), bisa menciptakan ‘makhluk hidup’ dengan menghadirkan sejumlah figur (protagonis atau pun antagonis) dalam plot dan alur cerita, selanjutnya dia pun bisa menghilangkan tokoh atau figur tersebut, hanya berbekalkan ujung jari.
Hidup dan mati sang tokoh dalam novel itu tergantung penuh pada si pujangga. Demikian pula seni lukis, seni patung dan lain-lain. Inilah ‘alam karya’ itu; dia memberi kepuasan batin bagi si penciptanya. Toh akhirnya berdampak pada pasar dan permintaan konsumen; sebuah karya selain memberi kepuasan batin, sekaligus memberi kenikmatan ‘kerja’ (dampak ekonomi), karena ada jual beli karya di antara pencipta dan konsumen dalam konstruksi pasar.
Maka, untuk menjadi seorang pencipta, kita tak perlu terkecoh harus menjadi seorang seniman, menjelma bak seorang pujangga, atau pun pindah profesi sebagai seorang pematung dan pelukis. Ihwal penciptaan ini boleh diawali dengan bekal sangat sederhana; bilah dan utas.
Ambillah sebilah pisau, lalu ambil pula seutas tali. Inilah bekal para petani menjalani domain Tuhan bernama “penciptaan” itu. Tak semata oleh petani, kaum puan atau ibu-ibu di masa pandemic ini juga amat akrab dengan tindak-perbuatan penciptaan ini, juga berbekal sebilah pisau, gunting, dan seutas tali; maka terhamparlah kebun rose (mawar) nan menawan di belakang rumah, samping teras, keliling garase dan lainnya.
Apa yang dicipta? Sang puan dan para petani ‘mencipta’ makhluk baru, menanam dan menumbuh makhluk baru bernama tanaman dalam ragam jenis. Semula, mereka terhampar dalam sebutan ‘tumbuhan’ (di alam liar), dengan sebilah pisau dan seutas tali, dia mengalami perubahan (domestikasi) menjadi ‘tanaman”; sesuatu yang ditanam oleh manusia.
Tanaman-tanaman (kreasi) manusia itu pun membesar, rimbun dan meninggi. Terkadang merimba dalam prinsip-prinsip hutan lokal; tropis atau pun sub tropis. Siapa pencipta hutan rimba yang memopesona ini?
Ya, mereka-mereka yang terbit ‘sinar jiwa’ untuk mengada-kan sejumlah ‘makhluk baru’ melalui tangkai lengannya sendiri demi mengundang dan menghadirkan sejumlah makhluk untuk berbagi suka dan keriangan di antara sesama (segala makhluk; burung, serangga dan lainnya mendatangi tanaman yang ditanam para petani berbekal bilah dan utas itu).
Selanjutnya, kita, saya, kamu, engkau, mereka, menggelindingkan keinginan dalam sejumlah dorongan ingin tahu, sekedar jalan-jalan pesiar, berwisata lipur, eksplorasi atau pun menjelajah alam rimba raya.
Kita, saya, kamu, engkau dan mereka itu, menelesuri liuk dan lengkung rimba raya atau kebun dengan tegakan kayu meninggi dan rimbun dalam suasana teduh dan damai.
Bayu dan oksigen yang terhidang di dalam kerimbunan itu adalah hasil dari orkestrasi kerimbunan rimba, termasuk sajian lanskap kanopi ujung-ujung daun yang saling bertemu dan menjalin.
Di bawah kerimbunan itu, di antara tiang-tiang tegak kayu-kayan itulah kita, anak manusia berlalu lalang meneruskan kisah penciptaan dalam suasana ceria dan gembira; tak gemas, tak radang, tak rimas, tak gerah. Orang menyebutnya sebagai ‘jasa lingkungan’.
Manusia menanam, manusia pula memperoleh imbal balik dari lingkungan itu, berupa ‘jasa lingkungan’ yang tak terhitung nilainya; nilai edukasi, pelancongan, keteduhan mata, keselesaan dan kebugaran ragawi, kerancakan hidup dan kebahagian rohani.
Kita yang berjalan atau yang berkejaran di antara tegakan kayu-kayu merimbun dalam sebuah rimba raya hasil tanaman sang petani tadi, sejatinya adalah kita yang sedang berada dan berjalan di antara
‘bejana-bejana air’ dalam posisi vertikal.
Batang-batang kayu yang tegak meninggi itu lah ‘bejana air’ yang menyemprotkan kesejukan sekitar. Setiap batang kayu itu mengandungi air lebih dari 70 persen. Sehingga dia sejatinya adalah tegakan vertikal ‘bejana-bejana air’ yang secara tak sadar telah diciptakan dan ditumbuh-besarkan oleh para petani yang menjadi profesi pertama menerima mandat Ketuhanan bernama penciptaan. Dia bukan ‘silinder imajiner’ lagi.
Inilah satu dari sekian bentuk jenis “khalqan jadid” (penciptaan-penciptaan baru) itu. Tetap selalu berada dalam kaidah bio-etika. “Bejana-bejana air” vertikal yang bermodalkan bilah dan utas. Para petani lah yang menjalani “tugas penciptaan” sebagai domain Tuhan yang selalu konsisten hingga kini… Maka, riangrialah duhaii petani…