Kueh Tuhan, Filsuf Berkebun

Ilustrasi: buckner.org
#YusmarYusuf
Lahir di kampung kecil, tepian Samudera Hindia, pantai barat Sumatra. Nama formal kampung itu sejatinya adalah Tanah nan Datar, yang kemudian diucap secara laju menjadi “Nan Data”, kian kencang lagi, menjadi Natal. Saat ini Natal masuk wilayah Kabupaten Mandailing-Natal yang juga mengalami singkatan ucap menjadi Madina, dulu masuk kawasan Tapanuli Selatan.
Begitulah langgam Melayu pantai barat Sumatra dalam berucap. Serba ringkas dan menghilangkan bunyi huruf akhir. Sosok agung pengukir sejarah modern bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa Melayu Asia-tropika. Bawaannya seorang pendobrak, menggebrak. Bawaan alami anak-anak kampung Sumatra yang dinamis itu. Intelektual Jawa amat ‘alergi’ dengan sosok ini. Melekat pada batang tubuhnya sebagai seorang pujangga intelektualis-modern-progresif.
Seorang filsuf agung wangsa Melayu Sumatra. Datang ke Jawa bak titanic menabrak kebekuan dan kemujudan sistem sinkretik era Hinduisme. Dia yang memodernkan pemikir-pemikir tanah Jawa yang terbelit pada pokok kayu masa lalu yang teramat lebat.
Walau sendirian, tapi lantang, menyalak. Fasih dalam ragam bahasa Eropa. Tiang agung tegaknya bahasa Melayu sebagai bahasa modern (menjadi bahasa Indonesia) hari ini berkat tokoh besar kita ini. Walau seorang filsuf, pemikir besar, pujangga ulung, namun hari-harinya disempurnakannya dengan laku berkebun.
Sepeninggal isteri pertamanya, dia selalu membawa anak sulungnya bernama Iskandar pergi ke kebun sembari mengayuh sepeda tua, melewati jalan-jalan tanah yang dilintang pohon-pohon kayu usang merebah, menuju satu titik di selatan Jakarta, tepatnya di kawasan Pasar Minggu, Pejaten yang kini menjadi kawasan kampus Universitas Nasional (dibangun 1949). Kampus tertua kedua di Indonesia. Dialah Sutan Takdir Alisjahbana.
Pak Takdir, begitu sapaan akrab beliau, hanya memiliki dua teman akrab; “Teman saya hanyalah tukang buah dan toko buku”.
Ha? Katrok, culun, kuper? Haii.. tunggu dulu. Filsuf kita ini punya kebiasaan berkebun dan menanam buah. Tak sekadar jenis buah-buahan, tapi juga beliau menanam bambu.
Awal kisahnya begini; dia punya kenalan seorang Jepang. Si Jepang ini membawa kaidah dalam cara menanam bambu (buluh): “tanamlah buluh dengan cara menghunjam dalam-dalam batang buluh itu ke dalam tanah, agar menghasilkan rebung terbaik”. Rebung adalah makanan bergizi bagi kita wangsa Sumatra.
Kisah tentang toko buku? Tak perlu dipertengkarkan lagi di sini. Dia memang pembaca agung dan penulis kitab he he he.
Lalu, ihwal tukang buah? Bagi Takdir, buah-buah yang dipetik dari pohon, sejatinya adalah “kueh Tuhan”. Kueh buatan manusia tak akan pernah selezat perisanya dengan “kueh buatan Allah” bernama buah-buahan. Maka, menanam dan berkebunlah!!! (tiga tanda seru). Horrree…
Giat berkebun, orang akan lebih dekat dengan “kata hati” (consciousness). Jika seseorang sudah menyatu dengan “kata hati” diri sendiri, maka dia adalah maujud dari sosok yang “akan bertolak” (untuk sebuah perantauan panjang) dari kaidah-kaidah etis terdasar.
Nilai etis itu adalah ‘kata hati’ pertama. Ketika ada seorang miskin menghampiri pintu rumah anda, lalu anda melihatnya dan ‘kata hati’ Anda berkata; “duh kasihan, beta akan sedekahi si miskin ini uang 50 ribu”. Itu kata hati pertama.
Tapi jelang Anda ke kamar mengambil uang, ada godaan dari dalam diri, achhh… cukup 10, 20 ribu ajalah. Terjadi tarik-menarik ‘kata hati’ (50 atau 20 ribu). Anda harus mengikuti ‘kata hati’ pertama (ya tetap 50 ribu). Karena niat pertama itu adalah sesuatu yang keluar dari sumber mata air perdana ‘kata hati’ (50 ribu). TITIK
Tak saja Sufi yang berkebun. Filsuf juga menjadikan kebun sebagai media dialog dengan ragam vegetasi (tanaman dan tumbuhan).
Sebab bagi mereka, krisis kemanusiaan itu berawal dari krisis nilai yang ada di dalam diri (autonom); termasuk pula krisis nilai yang dibentuk oleh faktor luaran (heteronom). Kedua nilai ini bersua dalam peristiwa berkebun dan menanam.
Laku berkebun adalah proses recharging (cas ulang) atas “kata hati” atau sebuah proses asah untuk penajaman ‘kata hati’.
Dia perlu diasah secara berulang-ulang agar tak majal, tak tumpul, sehingga ‘kata hati’ menjadi suluh dalam kegelapan peradaban, apatah lagi di masa-masa pandemic Covid-19 ini.
Orang merindukan ‘kata hati’ yang bersinar dan menerang semua sangkar gelap yang menelungkupi jiwa kita yang tengah rebah. Asah terbaik itu adalah dengan cara berkebun dan menanam.
‘Kata hati’ ujar Immanuel Kant adalah “Kesadaran setiap orang akan adanya suatu mahkamah di dalam diri sendiri, yang di dalamnya, fikiran melakukan tuduh-menuduh.
Dalam ‘konflik kata hati’, individu itu serempak sebagai penuntut, pesakit dan hakim sekaligus”. Ingat lagi sedekah kepada si miskin di depan pintu; antara 50 atau 20 ribu di atas…
Kenapa saya bertahan sebagai satu anasir halus dalam APKASINDO? Ya, demi merawat ‘kata hati’. Di sini adalah perkauman para petani yang laku-giat sehari-harinya adalah berkebun, menanam dan berinteraksi dengan sejumlah vegetasi.
Apalagi?
Walau tak punya kebun sawit, satu hal yang membuat saya bertahan di APKASINDO, saya bangga bisa menemukan pemikir bernas sekelas ‘filsuf dalam dunia berkebun’ yang juga asal darahnya dari tanah Sumatra ini: Prof. Agus Pakpahan, kala berbicara dalam getar suara bariton di atas podium, pilihan-pilihan frasa pembukanya amat menggetar dimensi spiritual; tentang perkebunan yang mempertaut Amerika, tentang sawit yang tak merecup di tanah Eropa.
Saya menemukan ‘kata hati’ Sumatra yang diwariskan Pak Takdir itu pada sejumlah anak-anak brilian Sumatra, dan saya menempel menjadi bagian dari itu.
Berkebun, menanam, adalah jalan merawat sekaligus mengasah ‘kata hati’, sebuah maujud anak panah terindah yang dititipkan sebagai ‘efek liahiah’ dalam chip kemanusiaan kita untuk menombak segala matra krisis yang sedang dan bakal dihadapi manusia muka bumi.
Giat berkebun adalah jalan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Tentang cinta, damai dan kasih. Suluh ajar, etik puncak sejak Socrates, Ramakrishna, Buddha berbincang tentang penindasan
yang ditanggapi dengan damai.
Dan, Nelson Mandela mewujudkan itu semua di abad modern ini: “Lebih elok menderita atas kekejaman dan ketidak-adilan daripada melakukan kekejaman dan ketidak-adilan ke atas makhluk lain”. Maka, berkebunlah! Demi mempertajam ‘kata hati’ (consciousness)…