Menjingkang Bosan: Berkebunlah!

Ilustrasi: i.pinimg.com
#YusmarYusuf
Jemu, bosan, ngantuk, boring, tired, letih; duhai petani, ini adalah sejumlah frasa manusia untuk mengungkapkan keadaan “jiwa nan datar” (plateau of soul). Hidup dijalani tanpa semerbak mewangi, tanpa riak dan gelombang.
Planet pertiwi bak padang gurun menyengat, tak menghimpun gairah dan semangat. Mengalami kemarau sukma. Jiwa mudah letih, apatah lagi semasa pandemic yang tak berkesudahan ini…
Setiap orang seakan-akan tengah menjalani fase antrean panjang menjadi ‘tersangka atau terdakwa’ oleh dakwaan dan serbuan gaib bernama Covid-19.
Para petani dan pekebun adalah serombongan ‘pemenang’ dalam sejarah panjang umat manusia sejak awal penciptaan kosmis.
Mereka adalah sekumpulan makhluk lasak yang tiada henti bergerak zig zag dalam moda datar (terrestrial-horizontal kala menyemai bibit dan menanam); menegak (vertical kala memanjat, mematah ranting dan pelepah); bahkan gerak diagonal kala mencangkul atau membajak.
Duhai petani dan pekebun, berbahagialah Anda digolongkan selaku “bani pemenang” dalam julangan sejarah penciptaan kosmis. Namun, hentikan kebanggaan itu ketika dia mengundang kantuk!
Kantuk tersebab bosan. Atau bosan mengundang kantuk. Semuanya dalam status sepupu tak produktif. Sepupu pasif dan kemenakan yang negatif dalam menjalani kehidupan yang penuh warna dan onak duri itu.
Orang-orang dalam status kantuklah yang tak bisa memilah mana onak, duri dan mana kulit lembut tangkai ratunya bunga bernama rose (sang mawar kehidupan).
Orang dengan fungsi kantuk yang berlebihan pula yang tak bisa menikmati mawar kehidupan dan kehidupan nan mawar (boleh diganti menjadi; “sawit kehidupan dan kehidupan nan sawit”, hehehe…).
Kenapa mawar, kenapa kantuk dan kenapa bosan? Semuanya adalah deretan yang memagut hidup. Dipagut kantuk, kita akan kehilangan mawar. Kala diserang bosan, kantuk memagut mawar segar menuju layu. Petani dan pekebun tinggal memilih nada yang mana untuk dipagut atau memagut?
Kebosanan itu adalah moyang dari segala akar kejahatan muka bumi. “Boredom is the root of all
evil,” ujar Soren Kierkegaard.
Untuk itu jangan mudah menuai puja, kalau kan dia mengundang kantuk dan bosan. Jangan pernah menggantung khayal berlarut-larut kalau kan itu menyerbuk mesiu kantuk bersangat-sangat.
Menjadi petani atau pekebun adalah simbol penombak kantuk; kantuk budaya, kantuk sosial, kantuk demokrasi, kantuk kebijakan, kantuk aturan, kantuk peradaban, kantuk politik, kantuk hukum, kantuk pergaulan, termasuk kantuk agama.
Kita pun tahu, klaim Eropa sebagai “bunda kebudayaan dunia” itu, sejatinya tengah menjalani etape letih dan melelah, kenapa?
“Bahaya utama yang mengancam Eropa adalah ‘keletihan’,” sergah Edmun Husserl, sang Fenomenolog. Maka, selamat malam anak-anak: dunia Barat telah berkeputusan untuk mengganti keimanan dengan kantuk.
Mereka tengah terserang kantuk maha berat. Sawit, mereka hitamkan dalam daftar produk sexy dunia, tersebab kantuk menahun yang dikait-kaitkan dengan energi baru terbarukan dan dalam sejumlah alasan recycle bin lainnya, Hehehe…
Maka, jingkanglah bosan dan kantuk itu jika kita hendak diperhitungkan dunia. Menjingkang lewat kesadaran sejarah berkebun.
Bahwa sejarah kebun adalah sejarah tentang pengorbanan, tentang memberi. Sejarah kebun adalah sejarah keikhlasan dan jalan Tuhan. Sejarah kebun adalah seni mengenal Tuhan.
Dalam Islam, “Berkebun adalah sebuah seni tinggi dan menjadi obat jiwa,” ujar Martin Lings sang Sufi dari tanah Inggris itu. Beliau berkebun manja di atas dada sebuah kota kecil berjarak 60 kilometer Utara London bernama Kent.
Di dalam kebun terhampar peristiwa memberi. Tuhan memperkenalkan satu tradisi kepada anak-anak Adam generasi awal tentang memberi, atau pengorbanan (tani) yang kemudian disebut sebagai sikap bajik yang dihasilkan oleh sulingan hati nan bijak.
Orang yang bajik hari ini adalah orang yang bijak. Orang yang bajik ditandai oleh kemampuan memberi dan memberi.
“Memberi, tak membuat orang jadi miskin,” kata Anne Frank, gadis kecil yang jadi korban NAZI. Kebun ialah sejarah mengenai bajik dan bijak.
Masih ngantuk? Masih juga bosan…? Kita lanjut hujah tentang “Tuhan Agrikultur”. Tuhan memperkenal diri-Nya di awal-awal sangkaan manusia, sebagai ‘Tuhan Barbeqeue’, yang meminta pengorbanan hewan yang berdarah di atas hamparan rumput hijau oleh seorang rahib berjubah putih.
Inilah fase awal ‘Tuhan’ dalam persepsi manusia gembala (sebagai ‘Tuhan daging panggang’). Di belakang daging masih ada susu. Namun, susu bisa basi dan menyusut.
Kecenderungannya? Para peternak terkesan bisa bermain-main ‘petak umpet’ dengan Tuhan. Susu yang sudah terkontaminasi disodorkan kepada tamu.
Susu kualitas unggul disimpan dalam almari ketahanan pangan keluarga (di sini orang terdorong untuk menabung secara berlebihan dan kemaruk). Ujung kemaruk, tetap kantuk, haha…
Lalu, datanglah sangkaan tahap berikutnya; ‘Tuhan Agrikultur’.
Tuhan dipersepsi dalam kesegaran tanaman, segarnya pucuk dan kuntum. Habil memikul tugas ini dalam sohor sejarah tiada berhingga.
Para petani dan pekebun datang dalam wajah segar, menolak kantuk, menombak bosan, menjingkang bosan demi mengusir segala bentuk kesumat, dendam dan majelis sumber kejahatan.
Tangkai segar, daun segar, umbi segar, pucuk segar, jelai segar, bulir segar, gandum yang sebelumnya liar mengalami domestikasi dalam himpunan segar dan menyegar.
Dari sini, peristiwa ‘memberi’ bertaut dan memperkaitkan dirinya dengan peristiwa ‘serba segar’.
Masa kini? demi meringkus kantuk dan serba membosan; pasar-pasar sebelah petang yang disebut sebagai ‘pasar kaget’; para petani menjelitakan ‘Tuhan-agrikultur’ dalam serangkaian petik: petik siang, bukan petik senja, apatah lagi petik subuh.
Pasar-pasar jenis ini diserbu ibu-ibu, pemilik café, kaum pejabat sepulang kantoran dalam kisah serba segar.
Petani mengulangi “kemenangan” dalam proses “cor ulang” yang amat memukau.
Ternyata, kehidupan adalah serangkaian proses “cor ulang” oleh sejumlah petani sang pemenang…