Ilustrasi: dreamstime.com

#YusmarYusuf

Setiap orang pernah memanjat atau mengokang angka mutlak (1) dan angka muktamat (9). Dalam guliran kalender Gregorian, belum jauh berselang, kita pernah dikunjungi oleh tahun yang dinisbahkan sebagai tahun yang ke-2019. Kita tak membincang angka 20, tapi kita bercengkerama tentang angka 19 saja (alias Satu dan Sembilan). Tentang angka? Angka itu sendiri adalah peristiwa yang licin dan menggelincir. Angka 1 (satu) dalam tradisi ‘tasawuf tajalli’, bersedia menghidangkan dirinya dalam jumlah pembelahan menjadi angka-angka lanjutan yang berlipat-lipat; angka 1 membelah diri menjadi angka 2, 3, 7, 9, 103, 156, 157, 2548 dan seterusnya. Semuanya akan kembali lagi ke angka 1 (sebagai angka mutlak).  Artinya; angka 1 (satu) membelah dirinya dalam maujud dan “diadakan” (ja’ala) menjadi jelmaan-jelmaan yang lain; menjadi siang dan malam, laut dan sungai, bunga dan haiwan, matahari dan rembulan, gunung dan bukit-bukau, senja dan subuh, kayu dan bebatuan, suara dan bebunyi.

Dan seterusnya… semua itu tak lain dari “penjelmaan” diri-Nya dalam salinan-salinan yang lain. Angka 1 menghidangkan dirinya dalam sejumlah avatar yang kemudian dikenal orang dengan klaim “liyan”. Siang, sesungguhnya adalah bilahan malam yang dicabut dan diusir dalam kelam dan menjelma menjadi terang, namun pada kala siang, tetap tersisa “legam” bernama bayang-bayang. Legam pada bayang-bayang itu sendiri adalah bilahan malam yang disisakan untuk siang, agar segala peristiwa di muka bumi ini tak berjalan kesat, namun licin dan menggelincir. Sebaliknya, malam adalah sinsingan siang yang ditarik perlahan menjadi gelap, namun menyisakan bilah siang lewat kehadiran cahaya. Maka, jadilah malam sebagai wilayah spiritual yang dinanti oleh semua agama dan kepercayaan. Manusia terdorong untuk “memanjat” ketika malam menghidang: segala doa dan keluh disalurkan pada kala malam bergerak dan menegak. Doa pun diresitasi dalam nada menegak (memanjat). Dalam kelam malam, semua terang dan nampak, karena pada ketika itu yang memandang adalah mata batin (al-Ain al-Tsabitah), bukan mata fisikal. Setiap makhluk menjahit “kimia kebahagiaan” (al-Kimiyah as Sa’adah) pada malam yang legam tak bersisa.

Angka 9 sebagai avatar akhir dari angka 1, adalah penutup atau muktamat. Pelipatan bilangan (numerikal) berlari antara 1 dan 9, kemudian dikawin-kawinkan menjadi bilangan yang belipat, lalu bisa pula dipisah-ceraikan, dibagi-bagi, dikali-kali. Semua peristiwa kawin, bagi, cerai dan kali/daraf itu bergerak di antara angka-angka (atau bilangan) 1 dan 9. Dan angka muktamat itu hadir dan menjelma, hanya ketika ada angka atau bilangan 1 (satu) yang bersedia membelahkan dirinya. Semua ini berlangsung secara licin dan menggelincir. Lalu, apa yang bisa ditarik dari “karamah” angka-angka nan licin ini? Banyak sekali dan rimbun sangat. Segala sesuatu yang terhidang di muka bumi ini adalah sesuatu yang licin dan tak kesat. Salah satu di antaranya adalah ideologi yang sangat dekat dan akrab dengan manusia modern; humanisme. Humanisme itu sendiri adalah terma yang licin. Di kalangan religius, memandang humanisme adalah musuh besar dan  gigantis yang harus dilucut dari muka bumi. Sebab, humanisme adalah penghalang utama eksklusivitas jalan keselamatan doktrin para religius ultra. Sebaliknya, bagi kalangan yang merasa digorok oleh ide-ide dan doktrin eksklusivisme religius-ultra, menganggap, bahwa humanisme adalah lorong cahaya pembebasan dan memberi mereka daya “vital” untuk melangsungkan kehidupan di muka bumi. Di satu sisi, humanisme memposisikan dirinya sebagai bilangan (angka) 1 atau SATU; di sisi yang lain dia berperan selaku angka muktamat (9) atau SEMBILAN.

Dari peristiwa ini, maka menggelincirlah segala ihwal di muka bumi dalam gelinciran serba licin, termasuk klaim kebenaran dan realitas mutlak. Termasuk pula persepsi manusia tentang ide-ide kebenaran langit yang diyakini hanya bisa dijalani dan dilakoni melalui sejumlah pelatihan ketat (riyadhah); namun tak sedikit pula, bukti kekuatan spiritual itu lebih dibuktikan kepada kemampuan untuk berbuat bajik kepada segala makhluk muka bumi. Angka 1 dan 9 menghidang sejumlah kemungkinan dan sesudahnya… Lalu, apa yang sesudahnya itu? Ada sesuatu yang di balik sana, tentang status makhluk yang wangi di langit, namun buruk rupa di muka bumi. Tentang makhluk yang dianggap kafir oleh manusia muka bumi, tapi amat beriman dan saleh di depan Tuhan. Tentang sosok yang ledah, hodoh, joloh, dan mungkin pula bahlul di depan rerata manusia, tetapi sejatinya dia adalah pemanjat spiritual yang paling agung di depan Tuhan, seorang pembaharu yang senantiasa membaharukan ‘muka batin’: “paras spiritual”nya di depan Tuhan. Jean Jacques Rousseau berkata, “There are always four sides to a story: your side, their side, the truth and what really happened”. Pun,… mengenai ihwal licin dan menggelincir,  dipercantik oleh Rumi:       “I want to sing like the birds, not worrying about who hears or what they think…” (daku ingin berdendang bak burung-burung, tak menghirau siapa yang mendengar atau apa yang mereka fikirkan).

Adalah sebuah kisah yang saya suling dari kebijaksanaan tasawuf Hazrat Inayat Khan; seorang anak kecil yang menghabiskan waktunya untuk belajar di sekolah formal. Hari bergerak menjadi minggu, dan berminggu-minggu, kemudian dikulum menjadi bulan. Sang anak, tak menunjukkan perkembangan intelektual yang berarti. Sejak dia menginjakkan kakinya di sekolah ini, angka yang dia tulis di buku tulisnya adalah angka tegak, menyerupai angka 1 (satu). Ketika dipanggil ke depan kelas, lalu ditugaskan oleh sang guru untuk menuliskan sejumlah angka di papan tulis, dia tetap menulis angka tegak menyerupai angka 1. Dari minggu dan masuk ke bulan ke enam. Hanya angka itulah yang mampu ditulis dan diukirkannya di atas penampang permukaan apapun. Lalu, dengan lembut sang guru menegur si anak; “duhaiii anak yang baik, engkau tak sedikit pun menunjukkan perkembangan, lama kelamaan, sekolah ini yang akan meninggalkan engkau. Teman-temanmu jauh maju, sudah bisa menulis angka 2, 3, 5, 8, 7, 6, 9, malah sudah bilangan ratusan, 108, 107, 105, 200…”. Anak itu diam, dan dia tetap menggores garis-garis tegak itu. Di rumah, si anak tetap dibilas dengan ampuan didik dari kedua orang tuanya. Berminggu dan berbulan-bulan, tetap tak memperlihatkan kemajuan. Dalam hati ayah dan bundanya terbersit: “Mungkin budak ni memang bahlul”?  Tau akan dirinya seperti itu, sang anak memutuskan diri untuk keluar dari “rumah kehangatan” dan memisahkan diri dari kedua orang tua itu. Dia memutuskan diri bersendirian jauh ke tengah padang gurun yang senyap dan dingin. Ya, serba senyap dan serba sejuk membatu dan membeku. Untuk bertahan hidup, si anak kecil ini hanya mengasup makanan dari dedaunan dan kacang-kacangan di sekitar padang pasir itu. Purnama berganti, berselang-selang, namun tak sampai dugaan windu. Si anak kecil ini memutuskan diri keluar dari padang gurun dan menuju ke arah sekolah formalnya tempohari. Setiba di sekolah itu, dia menemui sang guru yang pernah mengajarkannya tentang angka dan bilangan. Lalu dia berkata kepada sang guru: “Sekarang aku sudah bisa!!!!!… bolehkah aku menggores ke tembok sekolah ini wahai Pak Guru?”. Guru mempersilakan. Lalu, dia maju ke arah tembok dan menggoreskan garis tegak; dan tembok itu pun terbelah…

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *